Jumat, 31 Oktober 2008

Komersialisasi Pendidikan

Ketika Pendidikan Hanya untuk Orang Kaya

PERSOALAN mahalnya pendidikan belakangan ini kembali mencuat ke permukaan. Hal ini menjadi ironis mengingat sebelumnya berbagai janji politik para pejabat dan politikus saat kampanye untuk menyediakan pendidikan murah (bahkan gratis) banyak dilontarkan. Tampaknya, janji tersebut sejauh ini hanya jargon dan omong kosong belaka. Ribuan rakyat miskin yang hampir “sekarat” di tengah impitan hidup masih terbebani mahalnya biaya pendidikan bagi anak-anak mereka.
AWALNYA, kita masih berharap pada niat baik pemerintah menaikkan anggaran pendidikan dan merealisasikanya. Namun, semua itu tinggal kebijakan yang hanya ditulis di kertas dan kemudian disimpan di laci atau tidak malah telah hilang entah kemana.
Jika memang pendidikan didanai 20% dari APBN, semestinya sektor pendidikan memperoleh anggaran sebesar Rp 20 triliun dari total APBN sebesar Rp 300 triliun. Kenyataannya, dana untuk sektor pendidikan hanya berkisar Rp 13, 6 triliun atau sekitar 4% dari APBN. Sebuah jumlah yang sangat jauh dari ideal untuk sebuah negeri dengan 220 juta jiwa dan 17.079.220 orang atau 7, 7% d iantaranya tidak bisa baca tulis. Maka, sekali lagi janji politik yang sering diberikan cenderung hanya untuk menipu rakyat. Dan, dalam hal ini, lagi-lagi yang menjadi korban adalah rakyat kecil yang merupakan bagian terbesar penduduk negeri ini.
Kalau selama ini dikatakan pendidikan adalah investasi masa depan, tolak ukur kemajuan sebuah bangsa, dan petunjuk kemana peradaban akan dibawa, hal tersebut tentu tidak ada yang menyangsikan. Akan tetapi, persoalan tidak berhenti sampai di situ.
Ada sesuatu yang memang tidak adil sejak awal. Kompetisi (dalam dunia pendidikan) yang terjadi saat ini adalah kompetisi yang memang menguntungkan kalangan berlatar belakang ekonomi kaya. Sementara orang miskin, energi mereka telah terkuras habis berhadapan dengan ketidakadilan dalam segala sektor yang mereka terima.Eko Prasetyo lewat buku ini ingin menunjukkan fakta kepada kita semua bahwa pendidikan di negeri ini telah menjadi sesuatu yang sangat mahal dan semakin tak terjangkau rakyat kecil. Lembaga pendidikan telah dijadikan ladang bisnis dan komersialkan.
***
PENULIS buku ini memberi ilustrasi sederhana yang dalami sendiri. Saat akan memasukkan anaknya ke taman kanak-kanak (TK), ia disodori biaya uang pangkal yang jumlahnya sangat fantastis: Rp 2 juta! Kemudian, ditambah Rp 350.000 tiap bulan untuk biaya snack, pelajaran bermain, dan sesekali wisata ke tempat hiburan. Ia berpikir, alangkah mahalnya bayaran untuk si kecil agar ia bisa bernyanyi, berdoa, dan mengetahui ejaan (hal 2). Hal itu, tambah Eko dalam buku ini, tarnyata juga dialami tetangga-tetangganya yang harus menyediakan dana begitu besar untuk anak-anak mereka yang ingin sekolah di tengah impitan ekonomi yang kian mencekik. Ironisnya, ini terjadi mulai dari bangku TK hingga perguruan tinggi.
Celakanya, membengkaknya biaya pendidikan yang sering ditimpakan kepada para orang tua sering kali hanya digunakan untuk pembangunan fisik sekolah yang jelas bukan mandat utama pendidikan (hal 4). Dari hal itulah, penulis akhirnya berkesimpulan zaman di mana sekolah murah bisa dinikmati memang telah usai. Komersialisasi pendidikan telah meluluhlantakkan sisi-sis humanisme pendidikan dan mamutarbalikkan seluruh logika dan cita-cita awal dikembangkanya pendidikan. Telah terjadi apa yang tersebut de-humanisasi pendidikan.
Menurut penulis, yang sehari-hari bergelut dengan berbagai isu pendidikan kritis di Yogyakarta ini, terdapat banyak hal yang ikut memberi andil terhadap semakin melambungnya biaya pendidikan. Selain yang pasti karena rendahnya anggaran pendidikan, swastanisasi yang merasuki lembaga pendidikan menjadi kian “mencengangkan”. Dengan alumnus Fakultas Hukum UII ini, ada kepentingan kalangan pemodal yang menyelinap ketika mereka mendirikan sekolah. Sekolah kemudian seperti pabrik yang nanti mengeluarkan bermaca-macam makhluk mirip seperti robot (hal 27).
Swastanisasi lembaga pendidikan, bahkan dengan dasar pijakan otonomi, membuat sekolah kemudian perlu mencari penghasilan lain; penghasilan yang lagi-lagi dikutip dari orang tua siswa. Contoh sederhana adalah apa yang dialami kampus-kampus negeri di mana biaya kuliah begitu membumbung tinggi. Meski menggunakan nama beragam dalam merekrut calon mahasiswa, ujung-ujungnya tetap saja pengenaan biaya. Swastanisasi pendidikan inilah yang kemudian memicu berbagai kalangan pemegang kebijakan dalam dunia pendidikan membisniskan pendidikan. Maka, di perguruan tinggi misalnya, ditawarkanlah berbagai program pendidikan. Dari mulai diploma 1-3, S1 reguler dan ekstensi, magister kelas bisnis dan eksekutif, S3, bahkan membuka pelatihan. Semuanya itu hanya bertujuan untuk menggali dana sebanyak-banyaknya tanpa pernah mempersoalkan dan bertanggung jawab atas lulusannya.Hal serupa juga terjadi di tingkat lebih bawah. Fenomena maraknya TK unggulan, SD unggulan, SMP unggulan, hingga SMA unggulan yang menarik biaya sangat mahal adalah contoh sederhana betapa pendidikan tidak pernah berpihak kepada kaum miskin.
***
MENGAPA swastanisasi pendidikan terjadi sehingga akhirnya sekolah menjadi mahal? Menurut Eko, hal demikian terjadi karena negara malas mengambil peran. Anggaran pendidikan yang jauh lebih murah ketimbang anggaran pertahanan, misalnya, menunjukkan betapa penguasa tidak mamiliki kepekaan terhadap persoalan pendidikan. Pendidikan yang berulang-ulang disebutkan dalam konstitusi ternyata cuma pemanis saja (hal 29).
Padahal, dengan membuat mahal sekolah, yang terjadi adalah pendidikan akhirnya hanya penyumbang utama peningkatan populasi orang miskin. Apalagi jika dilihat keberhasilan sekolah dalam mencetuskan pengangguran, maka komplitlah tuduhan kita semua bahwa sekolah hanya akan membuat spiral kemiskinan tak berujung.
Dari berbagai hal seperti di atas, salahkah kemudian bila dikatakan sekolah ternyata hanya untuk orang kaya saja? Realitas empiris barangkali akan lebih dapat menunjukkan jawabnya. Maka, tuntutan buku ini sederhana, pendidikan wajib murah! Pendidikan mutlak harus dapat dijangkau oleh mereka yang miskin. Posisi orang miskin yang selama ini terlantar perlu dibangkitkan dan negara yang pertama kali perlu mengambil tanggung jawab. Dengan demikian, dapat dihindari komersialisasi pendidikan yang hanya berorientasi pada pengerukan keuntungan semata.
Gagasan yang dituangkan penulis dalam buku ini barangkali akan lebih tajam dan lebih komprehensif ketika kita membandingkanya dengan buku McDonaldisasi Pendidikan Tinggi yang dieditori Heru Nugroho (2002). Walaupun buku itu lebih menyoroti komersialisasi di pendidikan tinggi, tetapi analisis di dalamnya dapat digunakan untuk melihat fenomena komersialisasi pendidikan secara umum. Kombinasi di antara kedua buku tersebut kiranya dapat menyadarkan kita bahwa yang sangat dibutuhkan lembaga pendidikan masa depan adalah kembali ke jati diri dalam arti sesungguhnya, yakni tumbuhnya lembaga pendidikan yang profesional, milik publik, dan yang paling penting adalah sebagai lembaga pendidikan yang berada di negara miskin, yang karenanya harus memperjuangkan kelompok masyarakat yang terpinggirkan.